Musim Child Abuse

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS. AL Anfaal: 28)

Dalam suatu hadits pun dijelaskan bahwa jika seseorang meninggal, maka segala amalannya akan terputus. Kecuali tiga hal; yaitu, ilmu bermanfaat yang ditransformasikan kepada orang lain, infaq sodaqoh yang ikhlas dan anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya. Sudah sepatutnya, anak-anak sebagai buah hati yang dapat dianalogikan sebagai bibit pahala, mendapatkan pendidikan dan perhatian yang intens dari orang tuanya.

Namun, beragam pernyataan orang tua yang tak rasional cenderung menjadi sebuah alasan klasik untuk melampiaskan amarahnya dengan cara mengeksploitasi anak tanpa rasa kemanusiaan. Setiap hari, ratusan bahkan jutaan anak Indonesia menjadi korban kekerasan ekonomi dari para orang tua atau orang yang memeliharanya. Mereka dipaksa mencari nafkah dalam sengatan terik matahari, bergelut di kedinginan malam dan berjuang di tempat-tempat yang berbahaya. Setiap hari pula banyak anak yang dipaksa, disiksa bahkan dijadikan alat pemuas mereka demi keuntungan sepihak.

Belakangan, tindak kekerasan fisik kian bermunculan di tiap daerah, bak jamur yang berkembang ketika musim hujan. Awal tahun ini, misalnya, Indah Safitri yang akhirnya meninggal akibat dibakar orang tua kandungnya sendiri. Kasus kekerasan lainnya dialami Siti Ihtiatus Solihah, bocah sembilan tahun tersebut disetrika oleh ayahnya hingga melepuh. Belum lagi yang dialami Sari (15), diperkosa ayah tirinya hingga membuahkan janin. Ia dipaksa melakukan hal tersebut di bawah ancaman sang ayah. Serta masih banyak lagi kasus kekerasan pada anak lainnya yang terjadi di sekitar kita, bahkan tidak sebatas di perkotaan saja.

Zaman telah bergeser, orang tua yang seharusnya melindungi anaknya dari segala bentuk kekerasan, justru banyak yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri. Bahkan para pelaku child abuse di Indonesia yang memperlihatkan kekerasan terhadap anak semakin buruk lagi. Tidak hanya dari sisi psikologis dan kekerasan ekonomi, namun sudah dapat dikategorikan pada penganiayaan fisik, pelecehan seksual, dan pencabulan, hingga pembunuhan. Sepertinya kejahatan ini menjadi sebuah musim yang banyak digandrungi orang, layaknya menanti sebuah hujan di penghujung kemarau.

Mengutip apa yang dikatakan Terry E. Lawson, Psikiater Internasional, child abuse merupakan bentuk perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Ia menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Emotional abuse terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian. Namun, orang tua justru mengabaikan anak itu.

Verbal abuse terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, orang tua terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, dan sebagainya. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.

Kemudian physical abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan tersebut akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Sedangkan, sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. (Pikiran Rakyat, 15/01/2006).

Berdasarkan data yang terpantau Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA), selama tahun 2005 tercatat sebanyak 736 kasus kekerasan terhadap anak di berbagai daerah. Dari kasus itu, sebanyak 327 kasus merupakan tindakan kekerasan seksual, 233 kasus secara fisik, 176 kasus secara psikis, dan 130 kasus penelantaran anak. Dari 301 kasus, 121 kasus perkosaan anak (40%). Kemudian, 172 kasus percabulan (57%), dan delapan kasus persetubuhan sedarah (incest). Dari 301 kasus di atas, 250 korbannya adalah anak perempuan (81,43%) dan 57 kasus (18,57%) korbannya anak laki-laki dalam bentuk kejahatan sodomi.

Wrong Perceptions

Banyaknya faktor penyebab hingga mengakibatkan maraknya tindak kekerasan pada anak (TKTA_pen) dapat menimbulkan bahaya laten di tanah air. Beragam spekulasi pun bermunculan dalam menterjemahkan akar dari permasalahan ini, mulai dari faktor kemiskinan, tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, kondisi orang tua yang dihadapkan dengan pendapatan yang kian menurun, perasaan terhimpit dan tertekan secara psikis, hingga temperamental orang tua yang cenderung melampiaskan emosinya.

Dalam kajian sosiologi, anak adalah mahluk yang tidak berdaya, karena ketidak berdayaan ini anak menjadi rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa, termasuk orang tuanya sendiri. Keadaan ini diperparah dengan persepsi menyesatkan yang dimiliki orang tua dalam menganggap kehadiran anak sebagai hak paten yang dapat digunakan sesukanya. Pada akhirnya orang tua akan bebas untuk memperlakukan anaknya sesuai dengan keinginannya, jadi apapun yang dilakukan orang tua terhadap anak, itu adalah hak orang tua. Para pelaku child abuse ini beranggapan bahwa merekalah yang melahirkan, mendidik dan membesarkan anak. Pada saat yang sama kewenangan untuk melakukan hal apa pun bagi anak tidak masalah, termasuk untuk melakukan tindak kekerasan. Dari pada melakukan kekerasan terhadap orang lain lebih baik dilakukan terhadap keluarganya saja. Implikasinya, tingginya angka TKTA akan sulit diminimalisir.

Ironisnya, fenomena sosial ini seperti menjadi sebuah daya tarik tersendiri yang direspon positif oleh sejumlah orang tua di masyarakat. Para orang tua sepakat untuk meng-amini tindakan kekerasan yang dilakukan pada buah hatinya sendiri. Hipotesa ini berangkat dari tingginya angka TKTA yang kian hari justru bertambah. Padahal tahun 2006 ini dideklarasikan sebagai tahun bebas kekerasan terhadap anak, namun faktanya? Belum lama, TKTA justru menjadi agenda setting di seluruh media massa di Indonesia.

Dilematis? Sangat. Karena di saat-saat hari kemerdekaan anak diplokamirkan, pelaku child abuse justru kian bertebaran di setiap jengkal kehidupan masyarakat kita. Bahkan, kekerasan terhadap anak tidak saja terjadi dalam lingkungan keluarga (anak dan orang tua), namun dalam lingkungan pergaulan pun anak akan mengalami tindak kekerasan, tidak terkecuali di lingkungan sekolah. Tindakan seorang guru dengan mengatasnamakan kedisiplinan mempermudah dirinya untuk memperlakukan anak didiknya dengan kasar.

Guru sebagai profesional di tingkat pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Sudah sepatutnya pioneer untuk mencerdaskan bangsa dalam segala aspek kehidupan, namun yang terjadi banyak oknum yang melakukan perbuatan indisipliner. Menegakkan disiplin adalah tindakan yang mulia, namun proses penegakan itulah yang perlu diperhatikan.

Minim Sosialisasi Hak-hak Anak

Fenomena ini menambah panjang daftar kelam anak-anak Indonesia yang seharusnya menjalani masa kanak-kanak yang indah. Saat gaung Undang-undang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dikumandangkan November 2004, beragam euforia terpancar dari wajah ceria masyarakat. Sayangnya euforia masyarakat saat ini telah bermetamorfosis menjadi sebuah phobia UU, karena analoginya peraturan tersebut hanya datang sesaat kemudian pergi lagi.

Padahal UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pun telah lama diterapkan. Namun menurut salah seorang pemerhati anak di Malang, Fifik Wiryani S.H, M.Si menyimpulkan, UU tersebut patut diperhatikan kembali, pasalnya dalam UU No 23 Tahun 2002, penjelasan dari kekerasan itu masih dalam konteks yang terbatas. Undang-undang tersebut hanya menyebutkan hak-hak dan kewajiban anak saja, tanpa adanya tindak lanjut dari permasalahan-permasalahan yang muncul (Tabloid Bestari, edisi Februari 2006).

Jika kita menengok negara tetangga, Malaysia, misalnya. Sejak awal 1990-an telah dibentuk SCAN TEAM (Suspected Child Abuse and Neglect Team) yang keberadaannya diakui oleh seluruh jajaran pemerintahan sampai pada tingkat rukun tetangga, serta anggota timnya terdiri dari relawan masyarakat, pegawai kerajaan, anggota kepolisian, dan profesi kesehatan. Di Indonesia sistem tersebut belum ada. (Kompas, 26/01/2006)

Patut disesalkan pula, ternyata sosialisasi UU 23/2002 kepada masyarakat masih dirasa sangat minim. Analisa ini mengacu pada hasil observasi dan wawancara penulis yang dilakukan di sejumlah daerah perumahan dan desa-desa di Malang, salah satunya di beberapa tempat di Desa Landung Sari. Selain itu, pernyataan tentang minimnya sosialisasi UU tersebut juga diakui oleh sejumlah masyarakat dan para pakar pemerhati anak di tanah air. Pengakuan ini berasal dari berbagai pustaka yang pernah dikonsumsi penulis. Peliknya masalah tindak kekerasan terhadap anak ini, seakan menjadi rentetan polemik di Indonesia yang terkesan tanpa batas akhir.

Back to Nature

Lantas, siapa yang salah? Apa pun penyebab dari problematika ini, bukan saatnya lagi untuk membicarakan permasalahan atau menyalahkan pihak lain. Alangkah bijaknya jika kita saling bergandeng tangan dan mencoba segala daya upaya yang dapat memungkinkan untuk memecahkan kebuntuan ini. Mungkin, ada sebuah solusi sederhana yang luput dari perhatian kita semua.

Marilah kembali kepada fitrah. Secara substansi, segala yang ada di dunia ini adalah milik_Nya, begitu pun dengan makhluk sosial yang bernama manusia. Sangatlah naif jika kita melupakan sesutau apa yang telah diwajibkan atau dilarang Allah terhadap kita. Semua sepakat, bahwa tidak ada satu agama pun yang mengizinkan untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain apalagi menyakiti buah hati sendiri. Seluruh agama juga memiliki panduan atau kitab sebagai the way of life yang diyakininya, termasuk panduan untuk mendidik anak.

Sebagai seorang muslim, kita memiliki Qur’an dan Hadits yang sepatutnya dijadikan sebagai road map dalam meniti kampus kehidupan di dunia dan akhirat. Jika dalam sepuluh menit saja kita ingin merefleksikan apa yang telah di nash dalam QS. Al Anfaal 28, bukan hal yang mustahil jika pelaku child abuse akan berpikir ribuan kali untuk melakukan tindak kekerasan pada anaknya. Seperti apa yang telah disampaikan penulis di atas, kandungan ayat Quran yang sangat singkat tersebut memiliki makna begitu dalam dan menjadi sebuah hal mendasar untuk dipahami oleh para calon dan para orang tua, khususnya bagi pihak pria yang akan menjadi pemimpin dan yang telah memimpin bahtera rumah tangga.

Rasulullah sendiri tidak pernah melakukan hal-hal negatif pada anak maupun lingkungannya. Dalam konteks mendidik anak, Rasul selalu memperhatikan darerah-daerah tertentu untuk memberi pelajaran pada anak, itu pun dilakukan atas dasar kasih sayang, tidak lebih. Memang, kita bukanlah seorang Nabi. Namun jangan pernah berfikir untuk menjadi setan, artinya kita harus berusaha untuk selalu menghindarkan perbuatan yang merugikan atau menyakiti orang lain.

Sebenarnya teramat banyak kandungan ayat maupun Hadits atau acuan dari kitab agama mana pun yang menjelaskan perbuatan yang diperintahkan maupun dilarang. Permasalahan laten dari seluruh polemik di dunia ini adalah apakah orang-orang yang mengaku beragama telah menjalankan ibadah yang sesuai dengan ajarannya? Jangan-jangan mereka hanya menjadikan agama sebagai identitas diri belaka. Jika ini yang terjadi, tugas kita semua untuk mengembalikan mereka dalam kondisi sebagaimana awalnya dilahirkan, dengan metode ini, kriminalitas yang telah menjelma menjadi sebuah musim akan segera berakhir [ ].

Regulasi dan Kontroler

Beberapa tahun ini, harapan dan keinginan masyarakat telah terjawab. Dulu, hand phone (HP) dapat dinilai sebagai simbol prestise seseorang. Jangankan untuk memiliki HP, bagi sebagian orang membeli kartunya saja (pra bayar maupun pasca bayar) harus berpikir ratusan kali.

Namun sekarang, praktik jual beli HP dan voucher perdana pra bayar menjadi komoditas yang sangat menggiurkan. Counter-counter penjualan pun kian menjamur, bak laron ketika di musim hujan. Produsen dan konsumen tanpa kendala berarti, dengan mudah dan harga yang relatif murah dapat memiliki “jumlah” nomor serta HP dengan sesuka hati.

Otomatis, banyak konsumen mulai dari remaja hingga orang tua seakan berlomba untuk memuaskan dahaga serta mewujudkan impiannya. Karena fungsi HP sebagai prestise telah bermetamorfosis menjadi sebuah kebutuhan yang crusial. Apalagi, ditunjang dengan kemudahan dan kemurahan plus kebebasan untuk mendapatkannya.

Sayangnya, para pengguna kartu pra bayar seakan kebablasan dalam merespon komoditas ini. Banyak pengguna yang memakai layanan karu pra bayar bagaikan calling card --kartu sekali pakai buang.

Kesempatan ini, akhirnya direspon pula oleh beberapa ‘tangan-tangan jahil’. Terbukti banyak kasus mengenai penipuan gaya modern melalui layanan Short Message Sevice (SMS). Modus operandinya pun mudah dilakukan, kejahatan ini sangat potensial dan berhasil mengeruk keuntungan dari para korban. Bahkan, banyak pula kasus lain seperti beredarnya pesan sms provokatif “adu domba” yang semakin menimbulkan keresahan di masyarakat.

Hal itu terjadi, karena seiring meningkatnya kebutuhan berkomunikasi, jumlah pemakai telepon seluler (terutama yang menggunakan kartu pra bayar) terus meningkat. Menurut data Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), jumlah pelanggan seluler mencapai sekitar 42 juta nomor. Dari catatan di berbagai media, prosentase pengguna kartu pra bayar di tanah air mencapai 90% lebih dari sekitar 14 juta pengguna jasa seluler nasional.

Untuk itu, dalam upaya peningkatan keamanan negeri secara komprehensif, pemerintah melalui Depkominfo mewajibkan operator seluler meregistrasi identitas diri pelanggan tertuang dalam Keputusan Menkominfo; Kepmen No.23/Kominfo/M/10/05 tanggal 28 Oktober 2005 tentang registrasi kartu pra bayar.

Kepmen tersebut dikeluarkan pemerintah sebagai salah satu cara mengatasi maraknya aksi teror, penipuan, penyalahgunaan nomor dan aksi kejahatan lainnya yang sering didominasi melalui pesan-pesan sms yang tidak bertanggung jawab.

Konsep Sibernetik

Setiap kebijakan yang berlaku tentunya memiliki kelemahan dan kelebihan. Dalam teori sistem terdapat konsep sibernetik yang berfungsi untuk mengatur dan mengawasi (regulasi dan kontrol) sebuah sistem. Meski sejumlah operator telepon seluler telah memiliki formula registrasi pelanggan layanan pra bayarnya –untuk memenuhi peraturan pemerintah dengan batas registrasi April 2006. Namun, fungsi pengawasan dari konsep sibernetik di sini belum terlihat. Dan, masih terlalu dini untuk mengatakan sistem ini efektif untuk meredam aksi kejahatan melaui sms.

Pertama, Kepmen tersebut belum menjamin seluruh pengguna kartu pra bayar ingin meregistrasikan identitasnya. Kedua, meski pengguna telah melakukan registrasi, namun tidak tertutup kemungkinan pengguna tersebut tetap memiliki kartu pra bayar lebih dari satu, dan mungkin hanya satu nomor saja yang didaftarkan. Ketiga, masih banyaknya jumlah nomor yang diproduksi dan dijual secara bebas, murah, mudah dan tanpa diikuti perundang-undangan tertentu.

Melihat maraknya aksi kejahatan melalui sms, terlalu hipokrit, jika kita hanya mengutuk para pelaku kejahatan dan mencela kebodohan sang korban, sementara kita tak memiliki usaha yang sungguh-sungguh untuk menumpas aksi-aksi yang meresahkan masyarakat tersebut.

Kondisi ini seharusnya mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak. Pertama, masyarakat. Selalu bersikap waspada dan berpikir rasioanal terhadap setiap sms yang diterimanya. Dibutuhkan kesadaran dan keterbukaan yang tinggi untuk sesegera mungkin mendaftarkan nomornya sebelum batas akhir registrasi. Selain itu, hilangkan kebiasaan untuk memakai nomor bagaikan calling card.

Kedua, operator seluler berusaha dengan iming-iming tertentu untuk menarik respon pelanggannya agar segera mendaftarkan identitasnya. Membatasi jumlah dan regulasi produksi kartu pra bayar --berdasarkan kebutuhan saja.

Melakukan seleksi khusus terhadap counter-counter yang ingin mengedarkan kartu pra bayar yang baru diproduksi. Membuat aturan khusus tentang kepemilikan kartu baru dan aturan kepemilikan lebih dari satu plus mekanisme pengawasannya, karena meski pun nomor pelanggan yang belum mendaftar dinonaktifkan. Namun, banyaknya kuantitas kartu dan kemudahan mendapatkannya, sangat sulit menjamin pelanggan tersebut segera melakukan registrasi atas kartu barunya.

Ketiga, pemerintah harus ekstra keras dalam mengawasi dan menindak tegas pelanggaran yang dilakukan operator seluler, ketika ada yang melanggar Kepmen ataupun aturan-aturan baru yang dibuat operator seluler terhadap counter maupun produksi kartunya.

Pepatah Arab mengatakan, Man jadda wa jadda. Artinya, siapa yang sungguh-sungguh berusaha, akan dapat mewujudkan impiannya. Dengan demikian, pesan-pesan sms yang meresahkan masyarakat, insya Allah akan berubah menjadi sebuah pesan yang selalu dinanti-nanti. Semoga…